Dalam Keheningan, Ia Bersua

Dalam Keheningan, Ia Bersua

Minggu, 02 Februari 2014

Reminiscent

Begitu mendengar lantunan piano itu, gadis ini teringat akan mimpinya. Mimpinya sedari kecil yang selalu dianggap oleh tak berguna. Mimpi masa kecilnya yang selalu dianggap tak berarti. Karena mimpinya bukanlah menjadi sesuatu yang menguntungkan baginya. Mimpi kecil tak berguna yang sebenarnya sangat menyusahkan hidupnya. Hidupnya yang saat ini ia jalani setengah hati. Hanya bermodalkan pikiran-pikiran yang rasional. Pemikiran-pemikiran yang bersifat kapitalis. Tindakan-tindakan oportunistik khayalan. Dengan ego, tapi tanpa emosi. Dengan hati, tapi tanpa cinta. Dengan semangat juang tapi tanpa rasa. Baginya, semua itu hambar. Dan gadis ini hanya membutuhkan garam. Sesuatu yang asin yang melengkapi rasanya. Sesuatu yang sangat melimpah di alam. Tapi sangat jarang di dunianya. Karena ia merasa masih belum dapat mengeksploitasi kekayaan dunianya. Ia hanya hidup di suatu garia lurus. Mencoba menjadi yang dianggap seseorang. Ia hanya ingin menjadi berguna bagi orang lain. Tapi ia tak berguna bagi dirinya sendiri. Dan lantunan musik piano itu menjawab dengan nada-nadanya yang semakin tinggi. Dengan irama yang semakin cepat. Seolah marah pada gadis ini yang hanya bisa pesimis di hadapannya. Lalu nadanya melambat. Seolah menghela napas. Lalu tersenyum. Menyodorkan tangannya. Membantu gadis ini berdiri kembali. Setelah itu piano terdiam. Dan gadis ini kembali berjalan. Menggenggam mimpinya kembali. Meloncati lubang besar. Menuruni lereng terjal yang membuat kakinya keseleo dan tertatih-tatih saat berjalan. Lalu ia kembali berjalan dengan penuh percaya diri, seolah semua itu hanya rintangan kecil. Dan gadis ini kembali percaya bahwa ia akan mewujudkan mimpi masa kecilnya di masa dewasanya. Karena itulah yang membuat hidupnya hidup.